Setiap muslim tentu menginginkan
dirinya dapat meraih kecintaan dan keridhoan Allah ta’ala. Berbagai
macam amalan, ritual, kegiatan rela di kerjakan demi meraih cinta dan keridhoan
Allah. Dan cinta serta keridhoan Allah ini berkaitan dengan apa yang menjadi
tujuan hidup manusia yaitu ibadah.
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ
إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (QS. Az-Dzariyat
:56)
Lalu apa yang dimaksut dengan ibadah? Makna ibadah ini digunakan atas dua
hal,
Pertama menyembah, yaitu merendahkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya karena rasa cinta dan
mengagungkan-Nya.
Kedua Yang
disembah dengannya, yaitu meliputi segala sesuatu yang dicintai dan
diridhahi oleh Allah SWT berupa perkataan dan perbuatan, yang nampak dan
tersembunyi seperti, doa, zikir, shalat, cinta, dan yang semisalnya. Maka
melakukan shalat misalnya merupakan ibadah kepada Allah ta’ala.
Oleh karena itu hendaknya kita hanya menyembah kepada Allah ta’ala
semata dengan merendahkan diri kepada-Nya, dengan cinta dan mengagungkan-Nya,
dan kita tidak menyembahnya kecuali dengan cara yang telah
disyari'atkan-Nya.
Ibadah ini tidak akan tegak sebagaimana mestinya kecuali sesuai dengan apa
yang telah di perintahkan dan di syariatkan oleh Allah melalui Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena ibadah itu berkaitan dengan apa –
apa yang dicintai dan di ridhoi oleh Allah, sedangkan kita tidak dapat
mengetahui apa suatu hal, suatu perbuatan, suatu amalan di cintai dan diridhoi
oleh Allah keculai jika amalan itu telah disyariatkan-Nya.
Tidak mungkin luput suatu kebaikan, suatu amal perbuatan yang dicintai
Allah dan diridhoi oleh Allah sementara Allah tidak pernah mensyariatkannya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkannya.
Karena seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwasannya Agama ini telah
sempurna.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu,
dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agama bagimu ...”(Al-Maa-idah: 3)
Semua kebaikan sudah dijelaskan di dalam syariat ini, semua perkara yang
dapat mendekatkan seseorang ke surga, menjauhkan dari neraka telah di jelaskan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ
يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا.
قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ
مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
“Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah
seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada
kami.” Berkata Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang
mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan
semuanya kepada kalian” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (II/155-156
no. 1647) dan Ibnu Hibban (no. 65) dengan ringkas dari Shahabat Abu Dzarr radhiyallahu
‘anhu. Lihat Silsilah al Ahaadits ash Shahihah no. 1803.)
Karena agama Islam ini telah
sempurna, semua kebaikan, semua perkara yang dapat mendekatkan ke surga dan
menjauhkan dari neraka telah di jelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam maka tidak perlu lagi tambahan lagi. Kewajiban kita sebagai
seorang muslim adalah tinggal mencari apa-apa yang merupakan perkara yang di
cintai dan diridhoi Allah dengan mempelajari syariatnya yang telah di turunkan
di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih.
Maka dari sini kita dapati
bahwasannya standar kebaikan adalah al Qur’an dan as Sunnah yang shahih. Tolok
ukur dalam kita menilai suatu amalan, suatu perbuatan itu apakah di cintai dan
di ridhoi oleh Allah adalah syariatnya yang telah tertuang di dalam dua perkara
yang menjadi tuntunan hidup manusia yaitu al-Qur’an dan as sunnah yang shahih.
Jika ada suatu amalan ibadah
yang terlihatnya baik di mata manusia namun tidak mencocoki al-Qur’an, tidak
mencocoki as Sunnah yang shahih, tidak ada pendahulunya dari kalangan salafush
sholeh dalam beramal maka walaupun terlihatnya baik di mata manusia namun pada
hakikatnya itu adalah perbuatan yang buruk yang hendaknya ditinggalkan oleh
setiap muslim.
Oleh karena itu, saat ini tidak perlu kita
mengarang-ngarang amal-amal baru yang tidak ada contohnya dari Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak perlu membuat-buat amalan baru yang tidak pernah di
ajarkan Rasulullah, karena semuanya telah dijelaskan dan kita tinggal
mencarinya, mengamalkan yang sudah ada, dan mendakwahkannya serta bersabar
dijalan tersebut.
Jika kita ingin menjadikan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai suri tauladan yang baik, maka wajib bagi kita
mengambil suri tauladan pada beliau pada semua hal, dan wajib bagi kita
menjauhi semua perkara yang dilarang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada,
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam
urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak”
(HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu
anha)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda,
إِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ.
“Hati-hatilah kalian terhadap
perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu
Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no.
42, 43, 44), dari Sahabat Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, hadits ini hasan
shahih)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma juga
berkata berkaitan dengan perkara baru dalam ibadah ini,
كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun
manusia memandangnya baik.” (Riwayat al Lalika-i dalam Syarah Ushuul
I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 126))
Sebenarnya jika kita mengamalkan
ibadah-ibadah yang telah disyariatkan Allah telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sehari semalam tidak cukup waktu kita untuk
mengamalkan semuanya. :Lalu jika untuk mengamalkan ibadah yang disyariatkan
saja tidak cukup waktu kita, mengapa lagi kita harus menambah-nambah amalan
yang tidak disyariatkan?
Coba kita urutkan amalan – amalan yang
disyariatkan oleh Allah dari pagi ketika mata kita terbuka hingga petang mata
kita terlelap. Niscaya jika kita mencarinya dari amalan doa bangun tidur,
dzikir pagi petang, dzikir-dzikir saat melakukan aktifitas baik berpakaian,
kekamar mandi, sholat dhuha, bersyukur, dzikir mutlak, sholat wajib,
sholat-sholat tathowu yang disyariatkan, membaca memahami mentadaburi menghafal
al-Qur’an dan hadits, berbakti kepada orang tua, belajar Ilmu Agama,
mengajarkan Ilmu, mengajarkan dan membimbing keluarga ilmu agama, dan masih
banyak lagi sampai dzikir pagi petang, dzikir ketika akan tidur maka niscaya kita
dapati waktu kita tidak cukup untuk mengamalkan itu semua. Padahal semua itu
disyariatkan dan terdapat tuntunannya di dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang
shahih. Maka daripada kita mencari-cari amalan baru yang tidak terdapat
contohnya dalam agama ini yang tentu hal tersebut adalah perkara yang tercela,
hendaknya kita lebih fokus lagi dalam beramal yang sesuai tuntunan al-Qur’an
dan Sunnah shahihah.
Berapa banyak kita lihat orang-orang
disekitar kita yang sibuk mengamalkan perbuatan-perbuatan yang tidak ada
contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam ternyata mereka
banyak melalaikan amalan yang disyariatkan Allah, mereka lupa dan melalikan
perkara-perkara penting yang disyariatkan Allah. Hingga tidak jarang kita lihat
di masjid-masjid kaum muslimin ketika terdapat perayaan – perayaan yang
mengatasnamakan perayaan Islam yang tidak ada contoh dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam itu akan sangat penuh sesak di kunjungi manusia, namun
ketika amalan tersebut amalan yang disyariatkan seperti sholat wajib maka sepi
pengunjung, sepi yang menghadiri masjid, dan masih banyak perkara lainnya yang
serupa dengan ini.
Maka mari sekarang kita buat skala
prioritas dalam diri kita, mari kita pisahkan mana amalan yang disyariatkan,
mana amalan yang tidak disyariatkan, mana amalan yang wajib, mana amalan yang
sunnah, mana amalan mubah, dan mana amalan yang makruh dan haram.
Setelah kita memilah milah amalan
tersebut maka tentu akan lebih mudah bagi kita untuk mendahulukan yang paling
baik diatantara yang baik, yang baik diantara yang kurang baik dan tidak baik.
Mari kita tinggalkan perkara yang dilarang dan juga perkara yang samar-samar.
Perkara samar-samar disini maksutnya perkara yang di dalamnya terdapat
pembolehan dan larangan, dan hal ini sepatutnya untuk kita tinggalkan menurut
pendepat mayoritas ulama. Namun jika perkaranya tidak ada dalil yang
memerintahkan dan tidak ada dalil yang melarang maka jika perkaranya termasuk
ibadah hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang menjelaskannya dan jika
berkaitan dengan muamalah maka hukum asalnya boleh sampai ada dalil yang
melarang.
Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ
الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ
النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ
وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ
الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ
وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu
jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara
syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang.
Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam
perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada
pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir
menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah
larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.”
(Mattafaqun‘alih).