Kaidah Fiqhiyah : Kondisi Darurat membolehkan Sesuatu yang Terlarang
Senin, 25 Februari 2013
0
komentar
Muqoddimah
Sebenarnya, kaidah ini adalah salah satu
cabang dari kaidah (kesulitan mendatangkan kemudahan) yang sudah di bahas secara
global pada edisi sebelumnya. Namun, kaidah ini harus
diangkat kembali sehubungan banyaknya kekeliruan dalam pemahaman dan
penerapannya.
Alangkah banyaknya orang yang menerjang larangan
yang sangat jelas keharamannya dengan alasan kondisi darurat.
Misalnya, orang yang karena ‘tuntutan’ pekerjaan sampai tidak bisa shalat dzhuhur dan Ashar, juga seseorang yang ‘terpaksa’ bekerja di perusahaan rokok
atau minuman keras. Tatkala dinasihati, dengan entengnya mereka beralasan bahwa
ini karena kondisi darurat. Juga seseorang yang bekerja saat bulan Ramadhan
tidak puasa, pun beralasan dengan darurat.
Di sisi lainnya, terkadang ada seseorang yang memang
benar-benar dalam kondisi darurat, namun ternyata dalam prakteknya kebablasan,
sehingga saat kondisi darurat yang menimpa dia sudah hilang, dia ‘keenakan’
dalam kondisi darurat tersebut dalam mengerjakan perkara yang haram.
Dan
masih banyak contoh lainnya. Maka dengan ini kita mohon kepada Allah untuk
memberikan taufiq kepada kita untuk memahami agama kita yang mulia ini. Wallahu Musta’an.
DALIL
ADANYA KONDISI DARURAT DALAM SYARI’AT ISLAM
Banyak sekali ayat dan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa kondisi darurat mempunyai
hukum tersendiri yang berbeda dengan kondisi normal. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:
1. Dalil al-Qur’an
Firman Allah:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang [ketika disembelih] disebut [nama] selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]: 173)
Ayat-ayat yang senada dengan
ini banyak sekali, yaitu: al-Maidah [5] ayat 3, al-An’am [6] ayat 119 dan 145,
dan an-Nahl [16] ayat 115. Ayat-ayat ini menunjukkan pembolehan mengkonsumsi
makan makanan yang haram tersebut dalam kondisi darurat. Dengan ini, semua yang
asalnya haram pun bisa menjadi boleh jika dalam kondisi darurat.
2.
Dalil
as-Sunnah
Kisah Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu. Para ulama tafsir, berkaitan dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 106, meriwayatkan tentang kisah Sahabat Ammar bin Yasirradhiyallahu ‘anhu ketika disiksa oleh orang kafir. Mereka memaksanya kufur akan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dengan terpaksa Ammar mengikuti kehendak mereka. Kemudian Ammar mengadukan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: “Lalu bagaimana dengan hatimu sendiri?” Ammar menjawab: “Masih sangat mantap dengan keimanan.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika mereka menyiksamu lagi, lakukan seperti yang engkau lakukan tersebut.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman [dia mendapat kemurkaan Allah],
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
[dia tidak berdosa], akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS.
An-Nahl [16]: 106)
Kisah ini sangat jelas menunjukkan bahwa
apa yang dilakukan oleh Ammar bin Yasirradhiyallahu ‘anhu –dengan tindakan kekufurannya- tidak
menjadikan dia kufur, karena beliau melakukan itu dalam kondisi terpaksa.
3. Dalil kaidah umum syar’i
Masalah
kondisi darurat ini masuk dalam keumuman kaidah-kaidah umum, yaitu:
Pertama: Syari’at Islam ini terbangun atas dasar
mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadat.
Kedua: Syari’at
Islam dibangun untuk menjaga lima pokok utama yaitu: agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
Ketiga: Syari’at Islam dibangun di atas dasar kemudahan dan
menghilangkan kesulitan.
Keempat: Hukum-hukum Islam terbangun atas dasar
kemampuan hamba.
Semua kaidah ini sudah kita
jabarkan pada edisi-edisi sebelumnya. Silakan ditelaah kembali.
PENGERTIAN “DHORUROT”
Dalam istilah, kata dhorurot (darurat) mempunyai beberapa makna:
1. Dalam istilah ahli kalam
Dalam istilah mereka, dhorurot adalah suatu ilmu yang dihasilkan
tanpa butuh berpikir dan menelaah. Menurut mereka, ilmu terbagi dua: ilmu yang
dihasilkan dengan penelaahan dan berpikir, maka ini disebut ilmu nazhori; sedangkan ilmu yang tidak butuh hal
tersebut disebut ilmu dhoruri.
2.
Dalam
istilah ahli ilmu ‘arudh
Ilmu ‘arudh adalah ilmu untuk menggubah sya’ir
berbahasa Arab. Istilah dhorurot menurut mereka adalah sebuah kondisi
dimana mereka harus keluar dari salah satu kaidah ilmu nahwu atau shorof agar
sesuai dengan timbangan ilmu ‘arudh tersebut.
3.
Dalam
istilah ulama syar’i
Dhorurot menurut para ulama dimaksudkan untuk dua
makna, makna umum dan makna khusus.
Makna umum adalah sesuatu yang harus ada demi tegaknya
maslahat agama dan dunia; yang dalam hal ini ada lima, yaitu: penjagaan pada
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam makna ini, kebutuhan
seseorang itu ada tiga tingkatan: dhoruriyyat,
hajiyyat, dankamaliyyat. Dhoruriyyat adalah lima hal di atas yang tidak
akan tegak kehidupan manusia tanpanya.
Hajiyyat adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam
kehidupannya, namun kalaupun tidak ada maka manusia tidak akan binasa, hanya
kehidupannya akan sangat susah.
Kamaliyyat adalah sesuatu yang hanya sebagai
penyempurna kehidupan manusia, agar kehidupan mereka menjadi nyaman dan nikmat.
Adapun dalam makna khusus, dhorurot adalah:
“Sebuah kebutuhan yang sangat
mendesak yang menjadikan seseorang terpaksa menerjang larangan syar’i.”
Maknanya,
kondisi darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, di mana tidak
mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan
syar’i yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang
maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya.
Lalu apakah batas bahaya
tersebut? Imam Suyuthi –dalam Asybah
wan Nazho’ir- menjawabnya. Beliau rahimahullah berkata:
“Dhorurot adalah sampainya seseorang pada
sebuah batas di mana jika dia tidak melakukan yang terlarang (haram) maka dia
akan binasa atau mendekati binasa. Kondisi inilah yang membolehkan pelanggaran
larangan.”
Namun jika tidak sampai pada
batas tersebut, maka tidak disebut “dhorurot”, tetapi itulah yang diistilahkan
oleh para ulama dengan “hajah”. Imam Suyuthi rahimahullah berkata:
“Hajah adalah semacam orang yang lapar
yang seandainya dia tidak mendapatkan apa yang dia makan maka dia tidak binasa,
hanya saja dia akan mengalami kesulitan dan keberatan. Ini tidak membolehkan
perkara yang haram dan hanya membolehkan berbuka saat puasa.”
Sebab-Sebab Darurat:
- Bila dicermati, akan kita temukan banyak sekali sebab yang menjadikan seseorang berada dalam kondisi darurat. Baik darurat yang ditimbulkan oleh perbuatan orang lain ataupun tidak. Bisa karena kelaparan, berobat dari sakit, saat terjadi kebakaran, tenggelam, kecelakaan, dan lainnya. Namun, semuanya bisa ditarik garis kesimpulan bahwa yang menyebabkan kondisi darurat adalah karena menjaga lima hal yang pokok dalam agama Islam di atas. Demi menjaga agama, pasukan muslim –bisa saja karena terpaksa- membunuh orang tua dan anak-anak jika musuh menjadikan mereka tameng untuk melindungi diri, dan jika tidak demikian maka akan muncul bahaya yang jauh lebih besar atas kaum muslimin.
- Demi menjaga jiwa dan akal, seseorang boleh memakan bangkai kalau dalam kondisi sangat lapar, yang seandainya tidak makan bangkai tersebut, ia meninggal dunia.
- Demi menjaga keturunan dan kehormatan, seseorang boleh menyerahkan sejumlah uang tebusan kepada seorang jahat yang menyendera wanita muslimah, yang jika tidak demikian maka dikhawatirkan dia akan merusak kehormatan wanita tersebut.
- Demi menjaga harta, seseorang boleh merusak hartanya demi menjaga hartanya yang lebih banyak.
SYARAT-SYARAT DARURAT
Tatkala kondisi darurat ini
bisa menjadikan seseorang menerjang keharaman, maka kita harus benar-benar
hati-hati dan sangat selektif dalam penerapannya. Oleh karena itu, para ulama
membuat sebuah garis besar dan syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga
kondisi ini disebut kondisi darurat. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar
terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
Maknanya, sesuatu yang
membahayakan lima pokok dasar –yang telah disinggung di atas- itu secara yakin
atau prediksi kuat telah atau akan terjadi. Di mana kalau tidak menerjang yang
haram, maka akan membinasakannya atau minimalnya mendekati kebinasaan.
Atas dasar ini, sesuatu yang
hanya prasangka belaka atau masih diragukan, tidak bisa dijadikan dasar dalam
menentukan kondisi darurat.
Dalil syarat ini:
Allah mencela prasangka, dalam
firman-Nya:
Sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa. (QS. Al-Hujurot [49]: 12)
Dalam
suatu hadits diriwayatkan: Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami pernah bertanya pada
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, kami berada di sebuah negeri
yang terkena paceklik, maka bangkai apa yang halal untuk kami?” Maka
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab:
“Apabila kalian tidak menyiapkannya sebagai sarapan pagi atau makan sore, maka
silakan memakannya.” (HR. Ahmad: 1600 dan dishahihkan oleh Hakim 4/125)
Kaidah umum dalam syari’at
Islam, bahwa banyak hukum yang dikaitkan dengan kondisi yakin atau predikat
kuat. Namun, jika hanya prasangka belaka maka sama sekali tidak digubris.
2. Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
Maknanya bahwa bahaya itu tidak
bisa dihilangkan kecuali dengan cara haram, dan tidak ada satu pun cara halal
yang bisa mengatasinya. Namun, apabila ditemukan cara yang halal meskipun
dengan kualitas di bawahnya, maka harus dan wajib menggunakan cara halal
tersebut.
Dalil syarat ini, firman Allah
Ta’ala:
Maka bertakwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghobun [64]:16)
Ayat ini menunjukkan bahwa
seseorang harus mengerahkan apa yang dia mampu untuk bertaqwa pada Allah, dan
dalam masalah ini untuk meninggalkan yang haram. Apabila ada cara yang
dihalalkan maka sama sekali tidak boleh yang haram, dan tidak ada alasan
darurat.
Dari Jabir bin Samuroh radhiyallahu ‘anhu bahwa
ada seseorang yang tinggal di sebuah lembah bersama istri dan anaknya. Lalu ada
seseorang yang berkata (kepadanya): “Untaku hilang, jika engkau menemukannya
maka ikatlah.” Dan laki-laki itupun menemukannya namun tidak menemukan
pemiliknya. Lalu unta itu sakit. Istrinya berkata: “Sembelihlah ia.” Namun
suaminya tidak mau, sehingga unta itu mati, lalu istrinya berkata: “kulitilah
sehingga kita bisa membuat dendeng dagingnya lalu kita makan.” Dia menjawab: “
Saya tidak akan melakukannya hingga saya bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Setelah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau balik bertanya: “Apakah engkau memiliki
lainnya?” Dia menjawab: “Tidak” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab:
“Makanlah.” (Hasan. HR. Abu Dawud: 3816)
3.
Ukuran
melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.
Maksudnya
bolehnya melakukan yang terlarang saat kondisi darurat tersebut, hanya sekadar
untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya saja. Jika
bahaya tersebut sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukannya. Allah
berfirman:
Barangsiapa dalam keadaan
terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula]
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah [2]: 173)
Atas dasar ini, orang kelaparan
yang kalau tidak makan bangkai akan meninggal dunia maka boleh makan sekadar
untuk menyambung hidupnya saja. Tidak boleh sampai kenyang.
4.
Waktu
melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat
tersebut.
Artinnya, kalau kondisi itu
sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukan perkara terlarang tersebut. Itulah
yang sering diistilahkan oleh para ulama dalam sebuah kaidah: “Apa
yang boleh dilakukan karena ada udzur, maka akan batal apabila udzur itu sudah
tidak ada.”
Contoh: orang yang tidak
menemukan air atau tidak bisa menggunakan air boleh bertayamum, namun kalau
kemudian ada air maka tidak lagi tayamum dan harus berwudhu. Begitu pula jika
sudah bisa menggunakan air, maka tidak boleh lagi bertayamum.
5.
Melanggar
sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan
bahaya yang lebih besar.
Wallahu A’lam.
Sumber : Ustadz
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Majalah Al Furqon Edisi 05.
Baca Selengkapnya ....