Kaidah Fiqhiyah : Kondisi Darurat membolehkan Sesuatu yang Terlarang

Posted by Abu Mumtazah Senin, 25 Februari 2013 0 komentar
Muqoddimah

Sebenarnya, kaidah ini adalah salah satu cabang dari kaidah (kesulitan mendatangkan kemudahan) yang sudah di bahas secara global pada edisi sebelumnya. Namun, kaidah ini harus diangkat kembali sehubungan banyaknya kekeliruan dalam pemahaman dan penerapannya.

Alangkah banyaknya orang yang menerjang larangan yang sangat jelas keharamannya dengan alasan kondisi darurat. Misalnya, orang yang karena ‘tuntutan’ pekerjaan sampai tidak bisa shalat dzhuhur dan Ashar, juga seseorang yang ‘terpaksa’ bekerja di perusahaan rokok atau minuman keras. Tatkala dinasihati, dengan entengnya mereka beralasan bahwa ini karena kondisi darurat. Juga seseorang yang bekerja saat bulan Ramadhan tidak puasa, pun beralasan dengan darurat.

Di sisi lainnya, terkadang ada seseorang yang memang benar-benar dalam kondisi darurat, namun ternyata dalam prakteknya kebablasan, sehingga saat kondisi darurat yang menimpa dia sudah hilang, dia ‘keenakan’ dalam kondisi darurat tersebut dalam mengerjakan perkara yang haram.
Dan masih banyak contoh lainnya. Maka dengan ini kita mohon kepada Allah untuk memberikan taufiq kepada kita untuk memahami agama kita yang mulia ini. Wallahu Musta’an.

DALIL ADANYA KONDISI DARURAT DALAM SYARI’AT ISLAM

Banyak sekali ayat dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa kondisi darurat mempunyai hukum tersendiri yang berbeda dengan kondisi normal. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

1.    Dalil al-Qur’an

Firman Allah:

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang [ketika disembelih] disebut [nama] selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]: 173)

Ayat-ayat yang senada dengan ini banyak sekali, yaitu: al-Maidah [5] ayat 3, al-An’am [6] ayat 119 dan 145, dan an-Nahl [16] ayat 115. Ayat-ayat ini menunjukkan pembolehan mengkonsumsi makan makanan yang haram tersebut dalam kondisi darurat. Dengan ini, semua yang asalnya haram pun bisa menjadi boleh jika dalam kondisi darurat.

2.    Dalil as-Sunnah

Kisah Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu. Para ulama tafsir, berkaitan dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 106, meriwayatkan tentang kisah Sahabat Ammar bin Yasirradhiyallahu ‘anhu ketika disiksa oleh orang kafir. Mereka memaksanya kufur akan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dengan terpaksa Ammar mengikuti kehendak mereka. Kemudian Ammar mengadukan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: “Lalu bagaimana dengan hatimu sendiri?” Ammar menjawab: “Masih sangat mantap dengan keimanan.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika mereka menyiksamu lagi, lakukan seperti yang engkau lakukan tersebut.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman [dia mendapat kemurkaan Allah], kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman [dia tidak berdosa], akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl [16]: 106)

Kisah ini sangat jelas menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ammar bin Yasirradhiyallahu ‘anhu –dengan tindakan kekufurannya- tidak menjadikan dia kufur, karena beliau melakukan itu dalam kondisi terpaksa.

3.    Dalil kaidah umum syar’i

Masalah kondisi darurat ini masuk dalam keumuman kaidah-kaidah umum, yaitu:

Pertama: Syari’at Islam ini terbangun atas dasar mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadat.

Kedua: Syari’at Islam dibangun untuk menjaga lima pokok utama yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Ketiga: Syari’at Islam dibangun di atas dasar kemudahan dan menghilangkan kesulitan.

Keempat: Hukum-hukum Islam terbangun atas dasar kemampuan hamba.
Semua kaidah ini sudah kita jabarkan pada edisi-edisi sebelumnya. Silakan ditelaah kembali.

PENGERTIAN “DHORUROT”

Dalam istilah, kata dhorurot (darurat) mempunyai beberapa makna:

1.    Dalam istilah ahli kalam

Dalam istilah mereka, dhorurot adalah suatu ilmu yang dihasilkan tanpa butuh berpikir dan menelaah. Menurut mereka, ilmu terbagi dua: ilmu yang dihasilkan dengan penelaahan dan berpikir, maka ini disebut ilmu nazhori; sedangkan ilmu yang tidak butuh hal tersebut disebut ilmu dhoruri.

2.    Dalam istilah ahli ilmu ‘arudh

Ilmu ‘arudh adalah ilmu untuk menggubah sya’ir berbahasa Arab. Istilah dhorurot menurut mereka adalah sebuah kondisi dimana mereka harus keluar dari salah satu kaidah ilmu nahwu atau shorof agar sesuai dengan timbangan ilmu ‘arudh tersebut.

3.    Dalam istilah ulama syar’i

Dhorurot menurut para ulama dimaksudkan untuk dua makna, makna umum dan makna khusus.

Makna umum adalah sesuatu yang harus ada demi tegaknya maslahat agama dan dunia; yang dalam hal ini ada lima, yaitu: penjagaan pada agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam makna ini, kebutuhan seseorang itu ada tiga tingkatan: dhoruriyyat, hajiyyat, dankamaliyyat. Dhoruriyyat adalah lima hal di atas yang tidak akan tegak kehidupan manusia tanpanya.

Hajiyyat adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, namun kalaupun tidak ada maka manusia tidak akan binasa, hanya kehidupannya akan sangat susah.
Kamaliyyat adalah sesuatu yang hanya sebagai penyempurna kehidupan manusia, agar kehidupan mereka menjadi nyaman dan nikmat.

Adapun  dalam makna khusus, dhorurot adalah:

Sebuah kebutuhan yang sangat mendesak yang menjadikan seseorang terpaksa menerjang larangan syar’i.”

Maknanya, kondisi darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, di mana tidak mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan syar’i yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya.

Lalu apakah batas bahaya tersebut? Imam Suyuthi –dalam Asybah wan Nazho’ir- menjawabnya. Beliau rahimahullah berkata:

Dhorurot adalah sampainya seseorang pada sebuah batas di mana jika dia tidak melakukan yang terlarang (haram) maka dia akan binasa atau mendekati binasa. Kondisi inilah yang membolehkan pelanggaran larangan.”

Namun jika tidak sampai pada batas tersebut, maka tidak disebut “dhorurot”, tetapi itulah yang diistilahkan oleh para ulama dengan “hajah”. Imam Suyuthi rahimahullah berkata:

Hajah adalah semacam orang yang lapar yang seandainya dia tidak mendapatkan apa yang dia makan maka dia tidak binasa, hanya saja dia akan mengalami kesulitan dan keberatan. Ini tidak membolehkan perkara yang haram dan hanya membolehkan berbuka saat puasa.”

Sebab-Sebab Darurat:
  • Bila dicermati, akan kita temukan banyak sekali sebab yang menjadikan seseorang berada dalam kondisi darurat. Baik darurat yang ditimbulkan oleh perbuatan orang lain ataupun tidak. Bisa karena kelaparan, berobat dari sakit, saat terjadi kebakaran, tenggelam, kecelakaan, dan lainnya. Namun, semuanya bisa ditarik garis kesimpulan bahwa yang menyebabkan kondisi darurat adalah karena menjaga lima hal yang pokok dalam agama Islam di atas. Demi menjaga agama, pasukan muslim –bisa saja karena terpaksa- membunuh orang tua dan anak-anak jika musuh menjadikan mereka tameng untuk melindungi diri, dan jika tidak demikian maka akan muncul bahaya yang jauh lebih besar atas kaum muslimin.
  • Demi menjaga jiwa dan akal, seseorang boleh memakan bangkai kalau dalam kondisi sangat lapar, yang seandainya tidak makan bangkai tersebut, ia meninggal dunia.
  • Demi menjaga keturunan dan kehormatan, seseorang boleh menyerahkan sejumlah uang tebusan kepada seorang jahat yang menyendera wanita muslimah, yang jika tidak demikian maka dikhawatirkan dia akan merusak kehormatan wanita tersebut.
  • Demi menjaga harta, seseorang boleh merusak hartanya demi menjaga hartanya yang lebih banyak.

SYARAT-SYARAT DARURAT

Tatkala kondisi darurat ini bisa menjadikan seseorang menerjang keharaman, maka kita harus benar-benar hati-hati dan sangat selektif dalam penerapannya. Oleh karena itu, para ulama membuat sebuah garis besar dan syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga kondisi ini disebut kondisi darurat. Syarat-syarat tersebut adalah:

1.    Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.

Maknanya, sesuatu yang membahayakan lima pokok dasar –yang telah disinggung di atas- itu secara yakin atau prediksi kuat telah atau akan terjadi. Di mana kalau tidak menerjang yang haram, maka akan membinasakannya atau minimalnya mendekati kebinasaan.

Atas dasar ini, sesuatu yang hanya prasangka belaka atau masih diragukan, tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan kondisi darurat.

Dalil syarat ini:
Allah mencela prasangka, dalam firman-Nya:

Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (QS. Al-Hujurot [49]: 12)

Dalam suatu hadits diriwayatkan: Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, kami berada di sebuah negeri yang terkena paceklik, maka bangkai apa yang halal untuk kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Apabila kalian tidak menyiapkannya sebagai sarapan pagi atau makan sore, maka silakan memakannya.” (HR. Ahmad: 1600 dan dishahihkan oleh Hakim 4/125)

Kaidah umum dalam syari’at Islam, bahwa banyak hukum yang dikaitkan dengan kondisi yakin atau predikat kuat. Namun, jika hanya prasangka belaka maka sama sekali tidak digubris.

2.    Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.

Maknanya bahwa bahaya itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara haram, dan tidak ada satu pun cara halal yang bisa mengatasinya. Namun, apabila ditemukan cara yang halal meskipun dengan kualitas di bawahnya, maka harus dan wajib menggunakan cara halal tersebut.

Dalil syarat ini, firman Allah Ta’ala:

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghobun [64]:16)

Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang harus mengerahkan apa yang dia mampu untuk bertaqwa pada Allah, dan dalam masalah ini untuk meninggalkan yang haram. Apabila ada cara yang dihalalkan maka sama sekali tidak boleh yang haram, dan tidak ada alasan darurat.

Dari Jabir bin Samuroh radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seseorang yang tinggal di sebuah lembah bersama istri dan anaknya. Lalu ada seseorang yang berkata (kepadanya): “Untaku hilang, jika engkau menemukannya maka ikatlah.” Dan laki-laki itupun menemukannya namun tidak menemukan pemiliknya. Lalu unta itu sakit. Istrinya berkata: “Sembelihlah ia.” Namun suaminya tidak mau, sehingga unta itu mati, lalu istrinya berkata: “kulitilah sehingga kita bisa membuat dendeng dagingnya lalu kita makan.” Dia menjawab: “ Saya tidak akan melakukannya hingga saya bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau balik bertanya: “Apakah engkau memiliki lainnya?” Dia menjawab: “Tidak” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab: “Makanlah.” (Hasan. HR. Abu Dawud: 3816)

3.    Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.

Maksudnya bolehnya melakukan yang terlarang saat kondisi darurat tersebut, hanya sekadar untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya saja. Jika bahaya tersebut sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukannya. Allah berfirman:

Barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah [2]: 173)

Atas dasar ini, orang kelaparan yang kalau tidak makan bangkai akan meninggal dunia maka boleh makan sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Tidak boleh sampai kenyang.

4.    Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut.

Artinnya, kalau kondisi itu sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukan perkara terlarang tersebut. Itulah yang sering diistilahkan oleh para ulama dalam sebuah kaidah: “Apa yang boleh dilakukan karena ada udzur, maka akan batal apabila udzur itu sudah tidak ada.”

Contoh: orang yang tidak menemukan air atau tidak bisa menggunakan air boleh bertayamum, namun kalau kemudian ada air maka tidak lagi tayamum dan harus berwudhu. Begitu pula jika sudah bisa menggunakan air, maka tidak boleh lagi bertayamum.

5.    Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.

Wallahu A’lam.

Sumber : Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Majalah Al Furqon Edisi 05.

Baca Selengkapnya ....

Info Kajian Sunnah Cianjur

Posted by Abu Mumtazah Jumat, 22 Februari 2013 0 komentar

Bismillahirrahmannirrohiim..
Hadirilah kajian sunnah Islam di wilayan Cianjur

Tempat : Masjid Al Bayan (Belakang terminal Pasir Hayam Jebrod)
Waktu : Sabtu, 23 Februari 2013
Pemateri : Ustadz Cecep Abu Ja'far, Lc. (S-1 Univ. Al Azhar, Mesir)
Tema : Tafsir Juzz 'Amma

Kajian sunnah ilmiah Islam ini gratis dan terbuka untuk umum. Mari ajak keluarga, tetangga, dan rekan-rekan untuk menghadiri majelis 'Ilmu ini. Mudah-mudahan dengan kita melapangkan waktu untuk menuntut 'Ilmu, maka akan di lapangkan pula jalan kita menuju Surga kelak. Amin. 

Baca Selengkapnya ....

Yang Kadang Terlupakan Oleh Kedua Orang Tua : Ternyata Mencium Anak-Anak Mendatangkan Rahmat Allah !!

Posted by Abu Mumtazah Kamis, 21 Februari 2013 0 komentar

Sering kita dapati seseorang yang mendidik anaknya dengan cara yang keras…dengan menggunakan pukulan..bahkan tendangan…

Bahkan jika tangannya telah lelah memukul maka iapun menggunakan tongkat atau cambuk untuk memukul anaknya. Sementara jika bertemu dengan sahabat-sahabatnya jadilah ia orang yang paling lembut dan ramah.

Memang benar bahwa boleh bagi seorang ayah atau ibu untuk mendidik anaknya dengan memukul, akan tetapi hal itu keluar dari hukum asal. Karena hukum asal dalam mendidik…bahkan dalam segala hal adalah dengan kelembutan. Kita –sebagai orang tua- tidak boleh berpindah kepada metode pemukulan kecuali jika kondisinya mendesak. Itupun tidak boleh dengan pemukulan yang semena-mena, semau kita, seperti pukulan yang menimbulkan bekas…terlebih lagi yang mematahkan tulang…

Sering syaitan menghiasi para orang tua dengan  menjadikan mereka menyangka bahwa metode kekerasan dalam mendidik anak-anak adalah metode yang terbaik dan praktis serta metode yang singkat dan segera mendatangkan keberhasilan. Karena dengan kekerasan dalam sekejap sang anak menjadi penurut. '

Ingatlah ini semua hanyalah was-was syaitan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"Tidaklah kelembutan pada sesuatupun kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatupun kecuali akan memperburuknya" (Dishahihkan oleh Al-Albani)

Memang benar…jika seorang anak disikapi keras maka ia akan nurut dan patuh…akan tetapi hanya sekejap dan sementara…

Kenyataan yang ada menunjukan bahwa jika seorang ayah atau ibu yang senantiasa memukuli dan mengerasi anak-anak mereka akan menimbulkan dampak buruk:
  • Jadilah kedua orang tua tersebut berhati keras…, hilang kelembutan dari mereka, karena mereka telah membiasakan kekerasan dalam hati mereka
  • Bahkan anak-anak mereka yang sering mereka pukuli pun menjadi keras…, keras dan kasar sikap mereka dan juga keras hati mereka.
  • Bahkan tidak jarang sang anak yang dikerasi maka semakin menjadi-jadi keburukannya.  Terutama jika sang anak merasa aman dari control kedua orang tuannya. Hal ini menunjukan sikak keras terhadap seringnya tidak membuahkan keberhasilan dalam mendidik anak-anak
  • Kalaupun metode kekerasan berhasil merubah sang anak menjadi seorang anak yang "tidak nakal" maka bagaimanapun akan berbeda hasilnya dengan seorang anak yang dibina dengan kelembutan. Seorang anak yang "tidak nakal" yang merupakan buah metode kekerasan tidak akan memiliki kelembutan dalam sikap dan tutur kata serta kelembutan hati yang dimiliki oleh seorang anak yang dididik dengan penuh kelembutan.

Adapun jika kedua orang tua bersikap lembut kepada anak-anak mereka, dan tidak memukul kecuali dalam kondisi terdesak, sehingga tidak keseringan…maka akan menimbulkan banyak dampak positif, diantaranya :
  • Kedua orang tua tetap bisa menjaga kelembutan hati keduanya
  • Kelembutan hati anak-anak mereka juga bisa terjaga, demikian pula akhlak anak-anak mereka menjadi akhlak yang mulia. Karena mereka telah meneladani kedua orang tua mereka yang selalu bersikap lembut dan sayang kepada mereka
  • Anak-anak tatkala telah dewasa maka yang mereka selalu kenang adalah kebaikan, kelembutan, ciuman kedua orang tua mereka yang telah bersabar dalam mendidik mereka. Jadilah mereka anak-anak yang berbakti yang selalu ingin membalas budi kebaikan kedua orang tua mereka.
  • Kedua orang tua akan mendapatkan rahmat Allah dan ganjaran dari Allah karena sikap lembut mereka kepada anak-anak mereka

Abu Hurairah –semoga Allah meridhoinya- berkata :

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin 'Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro' bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro' berkata, "Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampun melihat kepada Al-'Aqro' lalu beliau berkata, "Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati" (HR Al-Bukhari no 5997 dan Muslim no 2318)

Dalam kisah yang sama dari 'Aisyah –semoga Allah meridhoinya- ia berkata :

"Datang seorang arab badui kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki?, kami tidak mencium mereka". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa rahmat/sayang dari hatimu" (HR Al-Bukhari no 5998 dan Muslim no 2317)

Ibnu Batthool rahimahullah berkata, "Menyayangi anak kecil, memeluknya, menciumnya, dan lembut kepadanya termasuk dari amalan-amalan yang diridhoi oleh Allah dan akan diberi ganjaran oleh Allah. Tidakkah engkau perhatikan Al-Aqro' bin Haabis menyebutkan kepada Nabi bahwa ia memiliki 10 orang anak laki-laki tidak seorangpun yang pernah ia  cium, maka Nabipun berkata kepada Al-Aqro' ((Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayang)).

Maka hal ini menunjukan bahwa mencium anak kecil, menggendongnya, ramah kepadanya merupakan perkara yang mendatangkan rahmat Allah. Tidak engkau perhatikan bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggendong (*cucu beliau) Umaamah putrinya Abul 'Aash (*suami Zainab putri Nabi) di atas leher beliau tatkala beliau sedang sholat?, padahal sholat adalah amalan yang paling mulia di sisi Allah dan Allah telah memerintahkan kita untuk senantiasa khusyuk dan konsentrasi dalam sholat. Kondisi Nabi yang menggendong Umaamah tidaklah bertentangan dengan kehusyu'an yang diperintahkan dalam sholat. Nabi kawatir akan memberatkan Umaamah (*si kecil cucu beliau) kalau beliau membiarkannya dan tidak digendong dalam sholat.

Pada sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan teladan yang paling besar bagi kita, maka hendaknya kita meneladani beliau dalam menyayangi anak-anak baik masih kecil maupun yang besar, serta berlemah lembut kepada mereka" (Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibnu Batthool, 9/211-212)

Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin rahimahullah berkata, "Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ (Barangsiapa yang tidak merahamati maka tidak dirahmati), yaitu barangsiapa yang tidak merahmati manusia maka ia tidak akan dirahmati oleh Allah Azza wa Jalla –kita berlindung kepada Allah akan hal ini-, serta Allah tidak memberi taufiq kepadanya untuk merahmati. Hadits ini menunjukan bahwa bolehnya mencium anak-anak kecil karena rahmat dan sayang kepada mereka, apakah mereka anak-anakmu ataukah cucu-cucumu dari putra dan putrimu atau anak-anak orang lain. Karena hal ini akan mendatangakna rahmat Allah dan menjadikan engkau memiliki hati yang menyayangi anak-anak. Semakin seseorang rahmat/sayang kepada hamba-hamba Allah maka ia semakin dekat dengan rahmat Allah. Bahkan Allah mengampuni seorang wanita pezina tatkala wanita pezina tersebut merahmati seekor anjing yang menjilat-jilat tanah karena kehausan…

Jika Allah menjadikan rasa rahmat/kasih sayang dalam hati seseorang maka itu merupakan pertanda bahwa ia akan dirahmati oleh Allah…"

"Maka hendaknya seseorang menjadikan hatinya lembut, ramah, dan sayang (kepada anak-anak), berbeda dengan kondisi sebagian orang bodoh. Bahkan tatkala anaknya yang masih kecil menemuinya sementara ia sedang di warung kopi maka iapun membentak dan mengusir anaknya. Ini merupakan kesalahan. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik dan mulia akhlak dan adabnya. Suatu hari beliau sedang sujud –tatkala beliau mengimami para sahabat- maka datanglah Al-Hasan bin Ali bin Abi Thoolib, lalu –sebagaiman sikap anak-anak-, Al-Hasanpun menaiki pundak Nabi yang dalam kondisi sujud. Nabipun melamakan/memanjangkan sujudnya. Hal ini menjadikan para sahabat heran (*mereka berkata :

"Wahai Rasulullah, engkau telah memperpanjang sujudmu, kami mengira telah terjadi sesuatu atau telah diturunkan wahyu kepadamu"-pen),

Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka,

"Bukan…, akan tetapi cucuku ini menjadikan aku seperti tunggangannya, maka aku tidak suka menyegerakan dia hingga ia menunaikan kemauannya" (*HR Ahmad no 16033 dengan sanad yang shahih-pen dan An-Nasaai no 1141 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Yaitu aku tidak ingin segera bangkit dari sujudku hingga ia menyelesaikan keinginannya. Ini buah dari rasa kasih sayang.

Pada suatu hari yang lain Umamah binti Zainab putri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih kecil dibawa oleh Nabi ke masjid. Lalu Nabi sholat mengimami para sahabat dalam kondisi menggendong putri mungil ini. Jika beliau sujud maka beliau meletakkannya di atas tanah, jika beliau berdiri maka beliau menggendongnya. Semua ini beliau lakukan karena sayang kepada sang cucu mungil. Padahal bisa saja Nabi memerintahkan Aisyah atau istri-istrinya yang lain untuk memegang cucu mungil ini, akan tetapi karena rasa kasih sayang beliau. Bisa jadi sang cucu hatinya terikat senang dengan kakeknya shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi ingin menenangkan hati sang cucu mungil.

Pada suatu hari Nabi sedang berkhutbah, lalu Al-Hasan dan Al-Husain (*yang masih kecil) datang memakai dua baju –mungkin baju baru-. Baju keduanya tersebut kepanjangan, sehingga keduanya tersandung-sandung jatuh bangun tatkala berjalan. Maka Nabipun turun dari mimbar lalu menggendong keduanya dihadapan beliau (*di atas mimbar) lalu beliau berkata:

"Maha benar Allah…"Hanyalah harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah", aku melihat kedua anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak sabar hingga akupun memutuskan khutbahku dan aku menggendong keduanya" (HR At-Thirmidzi no 2969 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Kemudian beliau melanjutkan khutbah beliau (*lihat HR Abu Dawud no 1016 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Yang penting  hendaknya kita membiasakan diri kita untuk menyayangi anak-anak, demikian juga menyayangi semua orang yang butuh kasih sayang, seperti anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang lemah (tidak mampu) dan selain mereka. Dan hendaknya kita menjadikan dalam hati kita rasa rahmat (kasih sayang) agar hal itu menjadi sebab datangnya rahmat Allah bagi kita, karena kita juga butuh kepada rahmat" (dari Syarah Riyaad As-Shoolihiin, dengan sedikit perubahan)

Sungguh mulia akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak…beliau menggendong anak-anak…bahkan dalam sholat beliau, karena kasih sayang kepada anak-anak …mencium anak-anak adalah ibadah…mendatangkan rahmat Allah. Bahkan beliau pernah berjalan cukup jauh hanya untuk mencium putra beliau Ibrahim.

Anas Bin Malik –semoga Allah meridhoinya- berkata :

"Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih sayang kepada anak-anak dari pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Putra Nabi (yang bernama) Ibrahim memiliki ibu susuan di daerah Awaali di kota Madinah. Maka Nabipun berangkat (*ke rumah ibu susuan tersebut) dan kami bersama beliau. lalu beliau masuk ke dalam rumah yang ternyata dalam keadaan penuh asap. Suami Ibu susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Nabipun mengambil Ibrahim lalu menciumnya, lalu beliau kembali" (HR Muslim no 2316)

Karenanya…bersabarlah wahai para orang tua dalam mendidik anak kalian…sayangilah mereka…peluklah mereka…ciumlah mereka….semuanya akan mendatangkan pahala dan rahmat Allah.   



Baca Selengkapnya ....
Jual Jilbab Syar'i, Gamis Akhwat dan Ikhwan dll support Jual Mainan Anak Playpad - Original design by Bamz | Copyright of Faidah Kajian Sunnah .