Gengsi Tapi Sangat Terpuji

Posted by Abu Mumtazah Rabu, 06 Februari 2013 0 komentar

Gengsi tidak selamanya tercela. Ada juga yang terpuji. Gengsi saat menerima kebenaran sangatlah tercela. Namun genggsi saat  saat meminta hajat kepada manusia, amatlah terpuji. Berikut ini sebagian gengsi terpuji ala salafussholih.

Tersebutlah Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu bin Khuwailid, istri pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam menjelang penaklukan kota Mekkah (pada 8 H). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberinya 100 ekor unta dari ghanimah yang beliau dapatkan seusai perang Hunain. Beliau konon 12 tahun lebih tua daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan wafat 44 tahun sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Urwah bin Zubeir dan Sa’id bin Musayyib meriwayatkan, Hakiem bin Hizam radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku pernah meminta uang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memberiku. kemudian aku minta uang lagi,dan beliau kembali memberiku. Untuk ketiga kalinya, aku minta uang lagi, dan beliau memberi lagi. Kemudian beliau bersabda, “Hai Hakiem, harta memanglah indah dan manis. Barangsiapa mengambilnya tnpa meminta berulang kali dan tanpa rasa tamak, ia akan mendapatkan berkahnya. Namun barangsiapa mengambilnya dengan penuh ambisi dan rasa tamak, maka tidak akan mendapatkan berkahnya. Namun barangsiapa yang mengambilnya dengan penuh ambisi dan rasa tamak, maka tidak akan mendapat berkahnya. Ibarat orang yang makan namun tidak kenyang-kenyang. Dan tangan yang diatas lebih baik daripada yang dibawah.” “Wahai Rasulullah demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku takkan meminta sesuatu kepadapun setelahmu, sampai aku berpisah dengan dunia” kata Hakiem.

Hari-haripun berlalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tiada dan kekhalifahan beralih ketangan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu. Sebagai kepala negara, kesejahteraan rakyat menjadi perhatian utamanya. Khalifah yang adil dan zuhud inipun memanggil satu per satu sahabat Rasulullah yang masih hidup, lalu memberi mereka santunan dari baitul mal. Abu Bakar radhiallallhu ‘anhu memanggil Hakiem agar menerima bagiannya dari baitul mal. Namun Hakiem radhiallahu ‘anhu menolaknya. Dua tahun kemudian masa kekhalifahan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu berlalu.

Yang menggantikan adalah Umar bin Khoththob radhiallallahu ‘anhu sebagai Amirul Mukminin. Umar radhiallahu ‘anhu juga memerhatikan kesejahteraan para sahabat, termasuk Hakiem bin Hizam radhiallahu ‘anhu. Umar radhiallahu ‘anhu pun memanggil Hakiem radhiallahu ‘anhu untuk menerima santunan. Namun Hakiem radhiallahu ‘anhu tetap saja tak mau mengambil sepeserpun. Maka Umar radhiallahu ‘anhu berkata kepada para sahabatnya, “Saksikanlah oleh kalian wahai kaum muslimin, bahwa aku telah menyerahkan bagiannya dari baitul mal, namun ia tak mau mengambilnya”. Demikianlah sikap Hakiem bin Hizam radhiallahu ‘anhu yang tetap gengsi untuk meminta sesuatu kepada siapapun sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai beliau wafat. Inti kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no. 1472) dan Muslim (no. 1035) dalam As Shahihain.

Berbaiat Untuk Gengsi
Mungkin anda heran membaca judul tulisan ini. Sayapun demikian. Akan tetapi hadits berikut benar-benar menunjukkan gengsi seperti ini adalah amal shaleh yang sangat besar pahalanya. Namun juga sangat jarang diamalkan, bahkan direnungkan. Jangankan oleh para santri dan tholabul ‘ilmi, alim ulama dan kyai saja hampir tak ada yang mengamalkannya.

Sahabat ‘Auf bin Malik Al Asyja’iy radhiallahu ‘anhu mengatakan, “kami pernah berkumpul dengan Rasulullah, antara tujuh hingga sembilan orang. Katika itu kami baru saja membaiat beliau, namun beliau berkata, “Tidakkah kalian berbaiat kepada Rasulullah?” “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah” sahut kami. “Tidakkah kalian membaiat Rasulullah?” tanya beliau lagi.”Kami telah membaiatmu wahau Rasulullah!” sahut kami lagi. “Tidakkah kalian membaiat Rasulullah?” tanya beliau lagi. Maka kami ulurkan tangan kami seraya berkata, “Kami telah membaiatmu wahau Rasulullah. Lalu dalam rangka apa kami harus berbaiat lagi?”
“Berbaiatlah dalam rangka mengabdi kepada Allah tanpa menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, dalam rangka menegakkan shalat lima waktu, taat kepada pemimpin, dan –sembari melirihkan suaranya- jangan meminta sesuatupun kepada manusia,” lanjut Rasulullah.

Alangkah beratnya baiat ini. Tak meminta sesuatupun kepada manusia. Mana mungkin? Ini hampir mustahil untuk bisa diwujudkan. Namun tidak ada yang mustahil bagi para sahabat bila Allah yang memberi taufiq. Bukan hanya gengsi meminta harta. Bahkan minta tolong dalam hal yang sepele pun mereka hindari, selagi mereka mampu melakukannya sendiri.

Auf bin Malik melanjutkan, “Sungguh, aku pernah menyaksikan salah satu dari mereka yang berbaiat tadi, saat cemetinya terjatuh, dan ia berada diatas tungganggannya. Ia tidak minta tolong kepada seorangpun agar cemeti tadi untuknya.” (HR. Muslim, No. 1043). Perlu dicatat untuk mengambil cemeti yang jatuh, ia harus turun dari tunggangannya lalu melompat dan naik lagi. Ini jelas lebih merepotkan daripada sekadar “minta tolong” diambilkan, jadi pantaslah jika pahala amal shaleh mereka yang kelihatan “tak seberapa” dilipat gandakan luar biasa oleh Allah ta’ala.

Pantaslah jika sedekah mereka yang hanya segenggam atau setengahnya, lebih besar pahalanya daripada sedekah kita yang sebesar gunung Uhud, karena mereka jauh lebih teguh dalam mewujudkan konsekwensi dari iyyaka nabudu wa iyyaaka nasta’ien. Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan Hanya kepada-Mu kami minta tolong. Inilah rahasia kehebatan amal mereka. Sedangkan kita hanya pandai mengulang-ulangnya 17 kali tiap hari, tanpa memahami konsekuensinya. Apalagi mengamalkan. Nastaghfirullaaha wa natuubu ilaihi.

Lantas bagaimana dengan para tabi’in? Simaklah kisah berikut yang sekaligus menutup artikel ini, yakni mengenai sesuatu yang mudah ditulis namun sangat berat untuk diamalkan.

Dalam kitab al-Mujalasah, ad-Dinawari meriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan bin ‘Uyainah, bahwa khalifah Hisyam bin Abdil Malik pernah masuk ke kabah. Tiba tiba, beliau mendapati Salim bin Abdillah bin Umar di dalam kabah. Beliau adalah putra Ibnu Umar yang paling mirip dengan ayahnya. Sedangkan sahabat Ibnu Umar adalah putera Umar bin Khaththob radhiallahu ‘anhu yang paling mirip dengan ayahnya. Salim termasuk salah satu dari 7 fuqaha kota Madinah di zamannya., yang terkenal dengan keilmuan, ketaqwaan, dan sikap zuhudnya. Beliau wafat pada 106/107 H.

“Hail Salim, sampaikan keinginanmu kepadaku,” kata Hisyam.
“Aku malu kepada Allah untuk meminta di Rumah-Nya kepada selain-Nya,” jawab Salim.
Tak lama berselang, Salim keluar dari kabah, dan Hisyam kembali membuntutinya sambil mengingatkan. “Nah, sekarang kamu sudah keluar, maka mintalah kebutuhanmu kepadaku,” kata Hisyam.

“Hajat duniawi atau ukhrawi?” tanya Salim.

“Hajat duniawi tentunya,” jawab Hisyam.

“Sungguh demi Allah, aku tidak pernah meminta dunia kepada yang menguasainya (Allah), lantas bagaimana aku hendak meminta kepada yang tidak menguasainya?” jawab Salim. (Mujalasah wa Jawahirul ‘Ilm oleh Ahmad bin Mirwan Ad Dinawari No 80, dengan sanad yang shahih).

Subhanallah, tawaran manis penguasa negara ditolaknya. Padahal, kalau pun Salim menyebutkan hajat duniawinya, toh itu juga karena perintah khalifah, dan bukan beliau yang memulai. Tetapi itulah gengsi ala para ulama masa silam (salafus shalih) yang sangat terpuji. Sesuai dengan konsekuensi tauhid yang mereka ulang setiap hari. Mampukah kita meneladani mereka? Semoga.

Sumber : Sufyan Baswedan, M.A., Majalah Pengusaha Musli Edisi 28. 
Barakallahu fikum
Judul: Gengsi Tapi Sangat Terpuji
Ditulis oleh Abu Mumtazah
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi antum. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke www.jadwalkajiansunnah.blogspot.com. Terima kasih atas kunjungannya, mudah-mudahan dapat bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Jual Jilbab Syar'i, Gamis Akhwat dan Ikhwan dll support Jual Mainan Anak Playpad - Original design by Bamz | Copyright of Faidah Kajian Sunnah .