Kerusakan Perayaan Tahun Baru bagi Umat Islam Ke-2

Posted by Abu Mumtazah Jumat, 28 Desember 2012 0 komentar
Tahun Baru Masehi
Pendahuluan
Umat Islam saat ini sangatlah banyak jumlahnya. Tetapi diantara mereka banyak juga yang tidak mengerti akan Agama mereka sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa Islam adalah cukup mengucapkan kalimat syahadat saja, atau Islam cukup tercantum di KTP saja, namun tidak ada konsekwensi untuk berperilaku Islam.

Yang perlu disadari, bahwa setelah kita mengaku Islam, maka ada konsekwensi-konsekwensi yang harus dijalani. Tidak cukup dengan kita mengaku beragama Islam tapi berperilaku seperti orang – orang yang non Islam. Untuk mengetahui konsekwensi-konsekwensi dalam ber Islam, maka kita harus banyak lagi belajar mengenai Agama yang lurus ini (Islam) melalui kitabnya al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih dengan pemahaman para sahabat.

Banyak diantara kita yang saat ini sudah mengerti, bahwa Islam itu ya al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Namun tetap saja mereka enggan atau malas untuk mempelajarinya, mereka malas untuk menuntut ilmu, mereka malas untuk mengunungi tempat-tempat ibadah. Inilah makanya kenapa diantara saudara muslim kita yang masih banyak berislam tetapi berperilaku seperti bukan orang Islam.

Salah satu prilaku orang Islam yang tidak mencerminkan keIslamannya yaitu perilaku tasyabuh terhadap orang-orang kafir. Banyak diantara mereka yang tidak sadar bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang dilarang Islam. Perilaku yang harus dihindari bagi umat Islam, yang merupakan konsekwensi dalam beragama.

Contoh perilaku tasyabuh orang kafir bagi umat Islam adalah mengikuti mereka dalam hal seperti pakaian, perayaan dll. Berikut ini kami sampaikan pembahasan mengenai larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai tasyabuh orang-orang kafir, terutama masalah perayaan, yang sebentar lagi akan datang. Mudah-mudahan dengan mengetahui bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dengan keras untuk ber tasyabuh dengan orang-orang kafir, kita dapat berusaha menjauhi perbuatan itu, terutama mengenai perayaan hari raya mereka yaitu tahun baru, yang dimana disana terdapat banyak sekali kerusakan.  

Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabuh (Meniru) Orang Kafir

Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST.

Merayakan tahun baru termasuk meniru orang kafir. Sejak dahulu Nabi kita shallallahu ‘alihi wa sallam sudah mewanti–wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orag Persia, Romawi, Yahudi, dan Nasrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian ataupun berhari raya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab: “Kalau bukan mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhori : 7319 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejangkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk kelubang dhob (yang penuh liku, Pen.) pasti kalianpun akan mengikutinya.” Kami para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “lantas siapa lagi?

An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits diatas, barkata: “Yang dimaksut dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh liku-liku), adalah permisalan tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nasrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakaria Yahya bin Syarf an-Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ at-Turots al-‘Arobi, cet. Ke dua, 1392)

Lihatlah apa yang dikatakan Nabi shallallahu ‘aliaihi wa sallam, apa yang beliau katakan benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampaipun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaanpun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ii. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabuh). Beliau bersabda,

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikh al-Albani mengatakan hadist ini shahih)

Menyerupai orang kafir (tasyabuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan, dan kebiasaan. Tasyabuh disini diharamkan berasarkan dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan Kesepakan para ulama (Ijma’). (Lihat penukilan ijma’ yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ ash-shirothil mustaqim, 1/363, wazarotu asy-syu’an al-Islamiyyah, cetakan ketujuh, tahun 1417H).

Sumber : Majalah Al Furqon Edisi 06 TH. Ke-10, 1432H/2010 

Baca Selengkapnya ....

Kerusakan Perayaan Tahun Baru bagi Umat Islam

Posted by Abu Mumtazah Kamis, 27 Desember 2012 2 komentar
Perayaan Tahun Baru Masehi
Pembuka 

Tahun baru masehi sebentar lagi. Banyak diantara kita yang sesama Muslim sudah jauh jauh hari mempersiapkan untuk ikut merayakan tahun baru Masehi ini. Entah mempersiapkan acara dengan teman-teman ataupun dengan lawan jenis yang jelas keharamannya. Hal ini dilakuakan oleh banyak muda mudi muslim kita. Dengan tujuan hanya bersenang-senang semata. 

Kebanyakan di kita, hampir semua tempat saat momen pergantian tahun Masehi mengadakan acara besar-besaran untuk bersenang-senang merayakan Tahun Baru Masehi. Diantaranya yaitu mengadakan acara Konser Musik (yang telah jelas dilarang dalam Islam), mengadakan pesta kembang api, atau sekedar kumpul kumpul sambil makan-makan. Hal ini sudahlah merupakan hal yang mengakar dan mendarah daging terutama di kalangan muda mudi kaum muslimin. Banyak diantara mereka yang kurang memikirkan akan bahayanya perayaan - perayaan ini, dan juga sebagian memang tidak mengetahuinya. 

Oleh karena itu, penulis ingin coba kutipkan artikel Ilmiah yang ditulis oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dalam Majalah Al Furqon mengenai salah satu kerusakan yang terjadi dalam perayaan tahun baru Masehi ini. InsyaAllah artikel ini bersambung. 

Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Id (Perayaan) yang Haram

Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST.


Perlu diketahui bahwa perayaan ('Id) kaum muslimin ada dua yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.   Anas bin Malik rdahiallahu 'anhu mengatakan : 

"Orang-orang jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tida di Madinah, beliau mengatakan: 'Dahulu kalian memiliki dua hari untuk bersenang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantinya bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.'" (HR. an-Nasa'i : 1556. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Namun setelah itu muncul berbagai perayaan ('id) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah jadikan ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Perhatikan penjelasan al-Lajnah ad-Da'imah lil Buhuts 'Ilmiyyah wal Ifta' (komisi fatwa di Arab Saudi) berikut ini:

Yang disebut 'id atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik, boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan, atau semisalnya. Jadi dalam 'id terkumpul beberapa hal : 
  1. Hari yang berulang semisal Idul Fithri dan hari Jum'at
  2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut
  3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum 'id (perayaan) terbagi menjadi dua:
  1. 'Id yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah, dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
  2. 'Id yang mengandung unsur menyerupai orang-orang kafir atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid'ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

    "Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bukan bagian dari agama maka amal tersebut tertolak." (HR. Bukhori dan Muslim)

Misalnya adalah peringatan maulid Nabi, hari ibu, dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid Nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan disamping menyerupai orang - orang Nasrani dan golongan kafir yang lainnya. sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir. (Fatwa Lajnah ad-Dhaimah lil Buhuts 'Ilmiyyah wal Ifta', 3/88-89, fatwa no. 9403, Mauqi' al-Ifta')

Demikian penjelasan Lajnah. Begitu perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir. 

Sumber : Majalah Al Furqon Edisi 06 TH. Ke-10, 1432H/2010

Baca Selengkapnya ....

Info Kajian Sunnah di Bandung

Posted by Abu Mumtazah Selasa, 25 Desember 2012 0 komentar
Bismillahirrahmaanirrahiim

Hadirilah Kajian Sunnah di Bandung

Insya Allah akan selenggarakan Tablig Akbar di Bandung

Tema :
"Wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Dalam Memberikan Solusi Dari Perpecahan & Perselisihan Ummat"

Pemateri : Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas 

Waktu pelaksanaan :
Tanggal : 13 Januari 2013 
Pukul   : 09:00-11:30
Tempat : Tempat : Masjid Agung Al Ukhuwah Balai Kota Bandung
Jl. Wastu Kencana No. 27 Bandung 

Informasi bisa hubungi : 0856 2210 774

Kajian sunnah ini Gratis dan terbuka untuk umum.


Baca Selengkapnya ....

Info Kajian Sunnah

Posted by Abu Mumtazah 0 komentar
Kajian Sunnah Mengurus Jenazah
Hadirilah Kajian Sunnah Ilmiah 

Tema : "Mengurus Jenazah Sesuai Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (teori dan praktek)"

Pemateri : Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc

Waktu : Sabtu, 29 Desember 2012,
Pukul : 09.00 s/d Selesai 
Tempat : Masjid Al Bayan Pasir Hapa Cianjur (50m belakang terminal Pasir Hayam)

Informasi : 
Ikhwan 082128270263, 081513500775, 085716416525
Akhwat 081513500770, 08159306256, 081286913732

Kajian Sunnah ini terbuka untuk umum, bagi kaum muslimn dan muslimah ajaklah seluruh keluarga, kerabat, karib dan tetangga anda, insyaAllah bermanfaat.

Baca Selengkapnya ....

Sekadar Niat Baik Saja Tidak Cukup

Posted by Abu Mumtazah Kamis, 20 Desember 2012 0 komentar

Oleh : Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Dari Sa’id bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan sholat setelah fajar lebih dari dua roka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Maka Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu bertanya, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab sholat?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi Alloh akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah.”

TAKHRIJ ATSAR
SHOHIH. Dikeluarkan oleh ad-Darimi dalam Musnad-nya: 1/404/450, al-Baihaqi dalam Sunan Kubra: 2/466, dan Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf no. 4755 dari jalur Sufyan dari Abu Robah dari Sa’id. Sanad atsar ini dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 2/236. Dan diriwayatkan juga oleh al-Khotib al-Baghdadi dalam al-Faqih wal Mutafaqqih: 1/381 dari jalur Makhlad bin Malik dari Athof bin Kholid dari Abdrurrohman bin Harmalah dari Sa’id dengan sanad Hasan.1

FIQIH ATSAR
Syaih Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengomentari atsar ini dalam kitabnya, Irwa’ul Gholil (2/236), “Ini adalah jawaban Sa’id bin Musayyib2 yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah  dengan alasan dzikir dan sholat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlus Sunnah) mengingkari dzikir dan sholat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlul bid’ah dari tuntunan Rosul shallallahu ‘alihi wa sallam dalam dzikir, sholat, dan lain-lain.”

Jadi, agar amal ibadah kita diterima oleh Alloh, bukan hanya dengan modal niat yang baik dan keikhlasan, melainkan juga harus sesuai dengan tuntunan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka sudah semestinya bagi kita untuk menggali ilmu agar amalan ibadah yang kita lakukan betul-betul sesuai dengan tuntunan beliau. Semoga Alloh menerima amal ibadah kita semua.

1 Dinukil dari Silsilah atsar ash-shohihah karya Abu Abdillah ad-Dani: 1/58, cet, Dar Atsariyyah.
2 Berkata al-Fasii dalam ‘Aqdu Tsamin tentang nama Sa’id radhiallahu ‘anhu “Yang masyhur adalah dengan memfathah huruf ya’ (Baca : Musayyab), namun penduduk Madinah berpendapat dengan mengkasroh huruf ya’ (baca: Musayyib).” (Dinukil dari Dhobthu al-A’lam hlm. 191 karya Ahmad Taimur Basya).

Sumber : Majalah Al Furqon, Edisi 07 Shofar 1432 

Artikel : http://jadwalkajiansunnah.blogspot.com/  

Baca Selengkapnya ....

Tangisan Sebatang Kayu

Posted by Abu Mumtazah Minggu, 16 Desember 2012 0 komentar
Kisah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebatang kayu Kurma
Hadist tentang tangisan sebatang kayu kurma termasuk sangat masyur dan tersebar luas. Riwayatnya mutawatir yang dikeluarkan oleh para ahli hadits dan diriwayatkan oleh sebagian para sahabat, diantaranya Ubai bin Ka'ab, Jabir bin 'Abdullah, Anas bin Malik, 'Abdullah bin 'Umar, 'Abdullah bin 'Abbas, Sahl bin Sa'ad, Abu Sa'id al Khudri, Buraidah, Ummu Salamah, dan Muthalin bin Abi Wadda'ah; semuanya menceritakan riwayat yang semakna dengan dengan hadits ini. 

Diantara hadits yang menceritakan tentang kisah sebatang kayu kurma itu ialah saat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di samping kayu itu pada hari Jum'at. Kisah ini sangat mashur dikalangan para sahabat :

Ibnu Umar radhiallahu 'anhu menceritakan : "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah disamping sebatang kayu. pada saat beliau dibuatkan mimbar, beliaupun menggunakan mimbar, maka menangislah kayu itu. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun mendatangi dan mengusap kayu itu dengan tangannya kepada kayu itu". (HR. Bukhari, no. 3583, lihat kitab Manaqib, Bab : 'Alamatun-Nubuwwah fil-Islam). 

Jabir bin 'Abdillah radhiallahu 'anhu menceritakan kepada kami seraya berkata : ""Dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Jum'at berdiri disamping sebatang kayu atau kayu kurma, lalu seorang wanita dikalangan Anshar berkata : 'Wahai Rasulullah, maukah engkau kami buatkan sebuah mimbar?' Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : '(Jika kalian mau buatlah),' lalu mereka membuatkan mimbarnya". 

Pada saat hari Jum'at tiba, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju mimbar, maka menjeritlah kayu kurma seperti tangisan bayi. Lalu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun turun dan mendekap kayu itu yang merintih seperti seorang anak kecil. 

Jabir radhiallahu 'anhu berkata "Kayu kurma itu menangis karena kebiasaannya dahulu mendengar dzikir yang di ucapkan disisinya". (HR. Bukhari no. 3584 Bab : 'Alamatun-Nubuwwah fil-Islam). 

Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah disamping sebatang kayu. Pada saat itu Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dibuatkan sebuah mimbar. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kemimbar itu, lantas kayu itu menjerit, (maka) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun mendatanginya dan mendekapnya. Kayu itu pun diam. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'seandainya aku tidak mendekapnya, ia akan tetap menjerit hingga hari kiamat'". (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Shaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Maja, no. 1162). 

Ibnu Hajar rahimahullah berkata : "sesungguhnya tangisan sebatang kayu dan terbelahnya bulan dinukil dari keduanya dengan banyaknya nukilan, yang memberikan faidah secara pasti bagi para imam ahli hadits yang meneliti jalan-jalan tersebut". (Fat-hul-Bari, 6/685).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata : "sesungguhnya perkataan (Imam Syafi'i rahimahullah), bahwa ini lebih besar darinya, karena sebatang kayu bukanlah termasuk makhluk hidup (seperti manusia). Dan bersamaan itu pula terdapat padanya perasaan dan cinta tatkala beliau berpindah darinya kepada mimbar, lalu menangis seperti tangisan unta hamil, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam turun dari mimbar lalu memeluknya". (Lihat Bidayah wa Nihayah, 6/276).

Dahulu, ketika al-Hasan menceritakan hadits ini, ia menangis, dan berkata : "Wahai ma'asyiral muslimin, sebatang kayu menangis karena rindu kepada Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kalian lebih pantas untuk merindukan perjumpaan dengannya". 

Sumber : Asy-Syifa bi Ta'rifi Huququl Musthafa, karya Qadhi Iyadh, dan kitab-kitab lainnya. 
Dikutip dari : Majalah As Sunnah, edisi khusus (06-07) TH. XII

Dipostkan kembali : http://jadwalkajiansunnah.blogspot.com/  
Short Url : http://alturl.com/udu4b

Baca Selengkapnya ....

Tabligh Akbar Cianjur

Posted by Abu Mumtazah Jumat, 14 Desember 2012 0 komentar

HADIRILAH !!!

Kajian Sunnah Cianjur..
Tabligh Akbar dengan tema :

Fiqh Asmaul Husna dan Kenikmatan Memandang Wajah Allah dengan Fiqh Asmaul Husna

InsyaAllah Kajian Sunnah ini dilaksanakan selama 2 hari, yaitu :
  • Sabtu 22 Desember 2012, dan
  • Ahad 23 Desember 2012

Waktu Kajian Sunnah dimulai :
  • Pagi, pukul 09.00 s/d Dzuhur
  • Sore, pukul 14.00 s/d 16.30, dan
  • Malam, Ba’da Maghrib s/d 20.30

Pemateri : Ustadz Abdullah Taslim, MA.
Tempat : Masjid Al Bayan Cianjur (Belakang terminal Jebrod / Pasir Hayam)

Kajian Sunnah ini terbuka untuk umum, ayoo..ajak saudara tetanggga dan kerabat untuk menghadiri kajian sunnah ini..Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang di mudahkan jalan menuju Surga..Amiin..

Baca Selengkapnya ....

Beda Risywah (Sogokan) dan Riba

Posted by Abu Mumtazah Sabtu, 08 Desember 2012 0 komentar
Beda Sogok dan Riba

Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 9374

Pertanyaan : Apakah perbedaan antara Riba dan Risywah (sogokan) ? Apakah Islam menolak risywah / Sogok dan bagaimana hukumnya dalam Islam

Jawaban : 
Pertama : Menurut bahasa Riba berarti 'tambahan'. Menurut Syari'at, riba ini terbagi menjadi dua : riba fadhl dan riba nasa'. Riba fadhl berarti menjual suatu makanan takaran dengan makanan takaran sejenis dengan memberi tambahan pada salah satunya, dan menjual barang timbangan dengan barang timbangan sejenis dengan adanya tambahan pada salah satunya. Misalnya, emas dengan emas, perak dengan perak, dengan tambahan pada salah satunya. Adapun riba nasa' adalah menjual makanan takaran dengan makanan takaran lainnya tanpa adanya penyerahan barang ditempat pelaksanaan akad, baik kedua barang itu sejenis maupun tidak. Dan menjual barang timbangan dengan barang timbangan lainnya baik itu emas atau perak, atau yang menggantikan posisi keduanya, tanpa adanya penyerahan ditempat pelaksanaan akad, baik satu jenis maupun tidak.

Kedua : Kami telah mengeluarkan fatwa mengenai risywah ini, yang teks nya berbunyi :

Pertanyaan : Kami pernah melakukan kontrak atas dasar upah, tanpa memperhitungkan upah itu kecil atau tertipu, tetapi kami menerima atau menyetujuinya. Namun setelah kami bekerja, kami merasa kaget. Para pemilik barang, orang-orang yang berurusan atau orang-orang yang diangkat mewakili mereka untuk menerima barang membayar beberapa riyal, yang terdiri dari pecahan 5 riyal, dan 10 riyal. Semua itu dibayarkan kepada kami melalui tiga cara :

1.      Uang yang kami terima setelah selesai keperluan keperluan dengan sempurna, dengan hati senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan atau pengurangan, atau pengutamaan seseorang atas yang lainnya
2.      Uang yang kami terima melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa kami menginginkan sesuatu.
3.      Uang yang kami terima sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi kami yang ditentukan.

Berikut ini contoh untuk anda : pekerjaan kami selesai pada jam Sembilan sore, sementara masih ada orang-orang yang berurusan atau pemilik barang yang ingin menerima barang mereka. Dia berkata, “aku ingin kamu tetap tinggal bersama saya disini agar saya dapat menerima barang saya, dan saya akan membayar waktu kamu yang telah saya sita untuk kepentingan saya, sehingga tidak ada mudharat yang menimpaku akibat penundaan penerimaan barang ini dan membiarkannya sampai esok hari”. Perlu diketahui bahwa kantor tempat kerja kami tidak keberatan atau menghalangi tindakan kami mengakhirkan waktu pulang bersama orang-orang yang berurusan.

Jawaban : Menerima uang, sedang anda sebagai pegawai negeri maupun swasta setelah selesai memenuhi kebutuhan para pemilik barang merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan, karena itu termasuk memakan harta dengan cara yang tidak benar. Didalam hadist shahih telah ditegaskan bahwa ketika Ibnul Lutbiyyah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah mengutusnya sebagai amil zakat, lalu dia berkata : “ini untuk kalian, dan ini hadiah untuk saya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallah berdiri, memanjatkan pujian dan sanjungan kepada Allah, kemudian bersabda :
“Amma ba’du. Sesungguhnya aku telah mempekerjakan seseorang diantara kalian untuk mengerjakan suatu tugas yang telah dikuasakan Allah kepadaku. Kemudia orang itu datang dan berkata : ‘ini untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadakau’. Mengapa dia tidak duduk dirumah ayah dan ibunya saja hingga hadiah itu datang kepadanya, jika dia memang benar? Demi Allah, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya melainkan dia akan menemui Allah dengan membawa beban pada hari Kiamat kelak. Sungguh aku akan tahu siapa diantara kalian yang akan menemui Allah dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang bersuara, atau kambing yang mengembik.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat warna putih kedua ketiak beliau. Beliau berkata : “Ya Allah, bukankan aku sudah menyampaikan?” (Muttafaq ‘alaih).

Menerima uang dengan meminta secara langsung, atau dengan member isyarat atau semisalnya, perbuatan itu termasuk meminta sogokan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyogok dan disogok serta perantaranya.

Adapun menerima uang sebagai ganti keterlambatan pulang (lembur) bersama para pemilik barang untuk menyelesaikan urusan mereka, maka sesungguhnya pekerjaan itu tidak terkait dengan diri anda dan tidak juga dengan pemilik barang, tetapi terkait dengan penanggungjawabnya, instansi resmi yang memiliki hubungan langsung dengan mengangkat anda sebagai pegawai disana degan gaji tertentu. Oleh karena itu, sebagai ganti keterlambatan anda pulang bersama pemilik barang tidak boleh menerima uang dari pemilik barang itu, tetapi ada boleh meminta kepada penanggungjawab sebagai upah pekerjaan tambahan untuk menyelesaikan urusan para pemilik barang.

Dengan penjelasan tersebut tampak jelas bahwa tiga sumber diatas yang darinya kalian bisa mengambil uang, merupakan sumber yang terlarang, dimana uang yang bersumber dari ketiga jalan tersebut haram. Oleh karena itu, wajib hukumnya menghindari diri dari uang tersebut, yaitu dengan mengembalikannya atau dengan menyedekahkannya kepada fakir miskin atau menyerahkannya kepada lembaga-lembaga sosial.

Wabillaahit taufiiq. Mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’
(Komite tetap kajian ilmiah dan pemberian fatwa)
Wakil ketua : ‘Abdurrozzaq ‘Afifi
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz  

Baca Selengkapnya ....

Info Pengajian Sunnah Untuk Wilayah Cianjur dan Sekitarnya

Posted by Abu Mumtazah Sabtu, 01 Desember 2012 0 komentar
Info Pengajian Sunnah di Cianjur
InsyaAllah Jadwal Kajian Ilmiyah di Cianjur dilaksanakan setiap hari Sabtu dan Ahad di Masjid Al Bayang Pasir Hapa Cianjur (Sekitar 50M Belakang Terminal Jebrod) , berikut ini jadwalnya :

  1. Sabtu 01 Desember '12 Oleh Ust. Abu Haidar As Sundawi Membahas Kitab Tauhid (09.00-12.00)
  2. Ahad 02 Desember '12 Oleh Ust. Ihsan Membahas Kitab Fiqh Asmaul Husna (09.00-12.00) 
  3. Ahad 08 Desember '12 Oleh Ust. Ade Hermansyah, Lc Membahas Kitab Dzikir (Ibnul Qoyyim) (09.00-12.00)
  4. Ahad 09 Desember '12 Oleh Ust. DR. Erwandi Tarmizi Membahas Fiqih Kontemporer (09.00-12.00)
  5. Ahad 15 Desember '12 Oleh Ust. Abu Haidar Membahas Kitab Tauhid (09.00-12.00)
  6. Ahad 16 Desember '12 Oleh Ust. Falah Membahas Hadist Arbain An Nawawi (09.00-12.00)
  7. Ahad 22 Desember '12 Oleh Ust. Cecep Abu Ja’far, Lc Membahas Tafsir Juz ‘Amma (09.00-12.00)
  8. Ahad 23 Desember '12 Oleh Ust. Abu Rizal Fadilah Membahas Tazkiyatunnufuz (09.00-12.00)
  9. Ahad 29 Desember '12 Oleh Ust. Abu Yahya Badrussalam, Lc. Tematik (09.00-12.00)
  10. Ahad 30 Desember '12 Oleh Ust. Ihsan Membahas Kitab Fiqh Asmaul Husna (09.00-12.00) 
Kajian Ilmiah Islam ini terbuka untuk umum, Ikhwan dan Akhwat. Mari ajak segera sanak keluarga tetangga anda untuk mengikuti kajian sunnah di cianjur ini dengan mengharap ridho Allah 'Azza wa jalla

Mari kita membiasakan diri untuk terus Menutut Ilmu Syar'i. Karena menuntut Ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum)

Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:

Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.

Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya. 

Dengan menuntut ilmu, Allah akan mudahkan jalan menuju surga bagi kita, seperti sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut : 

Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim).

Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.

“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama. 

Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.

“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam (http://almanhaj.or.id/content/2307/slash/0/menuntut-ilmu-jalan-menuju-surga/)

Dengan melihat keutamaan menuntut Ilmu tersebut, selayaknyalah kita sebagai Muslim akan lebih ringan jalan kita, niat kita untuk berjalan - jalan menuju majelis - majelis Ilmu. Karena Agama kita ini, Agama Islam ini dibangun di atas Ilmu

Baca Selengkapnya ....

Nasihat Luqman Kepada Anaknya

Posted by Abu Mumtazah 0 komentar

Pendidikan anak dalam Islam merupakan hal yang sangat penting. Allah telah banyak  mengkabarkan kepada kita bagaimana pendidikan anak dalam keluarga. Hal ini tertuang di dalam Al Qur'an mengenai Nasihat Luqman kepada Anaknya. Juga hal ini telah dijelaskan oleh suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang juga telah memberikan contoh melalui perbuatan maupun pengajaran secara langsung. Sebagai seorang muslim maka hendaknya kita sangat memperhatikan Pendidikan Islam Anak kita. 

Allah telah berfirman mengenai nasihat Luqman kepada Anaknya : 
31:13





Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberinya pelajaran, "Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar merupakan kezaliman yang besar. (QS Luqman 31: 13)

Dalam kutipan ayat Al Qur'an diatas dapat kita tangkap bahwa hendaknya bagi orang tua yang pertama kali pendidikan yang diajarkan kepada anaknya adalah Tauhid atau Akidah. Bagaimana bertauhid yang benar dan menjauhi perbuatan Syirik, karena Syirik merupakan kezhaliman yang besar. Syirik ini tidak ada dosa yang lebih besar dan lebih buruk daripadanya, baik dalam hak Rububiyah Allah, Uluhiyah maupun Asma' wa Sifat. Keimanan seorang muslim tidak akan lurus jika masih tercampur perbuatan syirik ini.

Allah berfirman : 
4:48






Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An Nisaa : 48)

Hal ini menunjukkan bahwa sangat pentingnya pendidikan Tauhid untuk anak-anak kita. Karena Islam adalah agama yang Tauhid, mengesakan Allah. Maka semestinya Pendidikan Anak dalam hal tauhid atau akidah ini merupakan prioritas utama kita. Karena di Zaman sekarang ini telah banyak penyimpangan - penyimpangan dalam hal Tauhid di negara kita ini. Lihat saja berapa banyak dari masyarakat kita yang masih hobi datang ke dukun dukun, berapa banyak anak - anak muslim kita yang masih gemar ramal meramal melalui Zodiak (ilmu nujum). Hal ini menandakan bahwa banyak diantara kita yang kurang mementingkan Pendidikan Islam Anak dalam hal Tauhid. 

Pendidikan Tauhid ini juga dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau menasihati sepupunya 'Abdullah bin 'Abbas radhiallahu 'anhuma yang saat itu umurnya masih sangat belia (umur beliau ketika saat itu kurang dari 15 tahun). 

'Abdullah bin 'Abbas radhiallahu 'anhuma berkata, yang artinya : "Pada suatu hari aku pernah dibonceng oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau bersabda : "Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa kalimat, 'Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya kamu akan mendapati-Nya didepanmu. Jika kamu ingin meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika kamu ingin memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika seluruh umat bergabung untuk memberikan sebuah manfaat kepadamu, mereka semua tidak akan bisa memberikan manfaat itu kecuali jika Allah telah menetapkannya untukmu. Dan jika mereka semua bergabung untuk memberikan sebuah mudharat / bahaya kepadamu, maka semua tidak akan bisa memberikan mudharat itu kecuali jika Allah telah menetapkan (pula) untukmu. Pena telah diangkat, dan buku catatan (amal) telah kering.'" (HR at Tirmidzi [4/667 no. 2516] dan lain-lain, Status hadits ini SHAHIH. Shahih Sunan at Tirmidzi [2/610])


Baca Selengkapnya ....

Wahai Saudari Muslimah, siapakah yang menyuruhmu untuk berjilbab?

Posted by Abu Mumtazah Kamis, 04 Oktober 2012 0 komentar
Untukmu ukhti muslimah…
kemana akan kau bawa dirimu?
kepada gemerlapnya dunia?
gemilaunya harta?
atau pada ketampanan seorang pria?
walaupun kau harus membuka hijabmu
demi mendapat semua yang kau inginkan,
maka kehinaan yang kau dapatkan!
Wahai Saudari Muslimah, siapakah yang munyuruhmu untuk berhijab?

Untukmu ukhti muslimah…
kemana akan kau bawa dirimu?
kepada kemuliaan jiwa?
kepada keridhaan sang pencipta?
atau mulianya menjadi bidadari surga?
walaupun hinaan dan cacian yang harus kau terima
demi menjaga hijab yang telah disyariatkan oleh agama,
maka kebahagiaan yang akan kau dapatkan!
Katakan TIDAK pada gemerlapnya dunia!
jika hijabmu harus terlepas karenanya
katakan TIDAK pada kemilaunya harta!
jika hijabmu harus menjadi tebusannya
karena hijabmu,
adalah benteng kemuliaan dirimu

bahwasannya yang menyuruhmu untuk berjilbab
yang menyuruhmu untuk berbusana muslimah
yang menyuruhmu ialah Allah dan Rasul-NYa
dan konsekwensi kita sebagai seorang muslim maupun muslimah
wajib untuk taat pada Allah Ta’ala
karena Allah yang menciptakan kita
Allah yang memberikan rizki pada kita
Allah yang memberikan segalanya kepada kita
Al-Qur’an menyuruh kita untuk berhijab
Allah yang menciptakan kita yang menyuruh kita untuk berjilbab!

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”
(QS.al-Ahzab:59)

Jika seandainya manusia (wanita muslimah) tidak berbusana Muslimah, tidak berjilbab,
maka manusia ini akan rusak dan hancur, akan binasa.”
Setiap wanita, TIDAK ADA UDZUR (tidak ada alasan) untuk tidak memakai busana muslimah.

(Dikutip dari nasihat Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah di Radio Rodja 756 AM)

Baca Selengkapnya ....

TABARRUJ, DANDANAN ALA JAHILIYAH WANITA MODERN

Posted by Abu Mumtazah Jumat, 21 September 2012 0 komentar
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA

Tabarruj Dalam Berpakaian
Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya.

Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk tabarruj, karena pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan keindahan yang seharusnya disembunyikan.

Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan hiasan-hiasan yang menarik perhatian atau dengan model yang justru semakin memperindah penampilan wanita yang mengenakannya maka ini jelas termasuk tabarruj.

Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan, supaya keren, dan kalimat lain yang senada.

Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda, ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan keindahan, sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita untuk menutupi dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka kepada selain mahram atau suami mereka.

Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir juga disebut sebagai hiasan.

Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan keharamannya.

Imam adz-Dzahabi berkata [1]: “Termasuk perbuatan (buruk) yang menjadikan wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan mutiara (yang dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai wangi-wangian dengan kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai pakaian yang diberi celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian pendek, disertai dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan lengan baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Aku melihat Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita” [2]

Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [3], na’uudzu billahi min dzaalik.

Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku memandang bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan (dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini telah tersebar merata” [4]

Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab Saudi, yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan: syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai berikut: “’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam (dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah tersebut tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu, ‘abayah tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan (pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun simbol-simbol” [5]

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau pertanyaan berikut:
“Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi) bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita yang bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh terhadap permasalahan in?”

Jawaban beliau:
“Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal) dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan dengan) mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً 

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” [al-Baqarah: 29].

Dan Firman-Nya:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32]
.
Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang mengharamkannya, seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi laki-laki, selain dalam hal yang dikecualikan, haramnya isbal (menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.

Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum) asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya), maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena pakaian itu menimbulkan fitnah” [6]

Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan” [an-Nuur: 60]

Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda” [7]
.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian yang dibuat dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan menyilaukan mata” [8].

Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas, dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian, sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang (berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya (perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki), karena Allah Azza wa Jalla berfirman: 

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]

Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj, nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan tidak boleh bagi wanita” [9]

Warna Pakaian Wanita Termasuk Perhiasan ?
Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk perhiasan sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna selain putih atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa wanita yang kuat berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua alasan:

- Pertama: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Parfum wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya” [10]

- Kedua: Perbuatan para wanita di jaman para shahabat Radhiyallahu anhum…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah, bahkan di antara mereka istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…” [11].

Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas, kalau kita gabungkan dengan ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di antaranya telah kami nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian wanita tidak termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat warna tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian bagi laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani sendiri menyampaikan keterangan beliau di atas pada pembahasan syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada syarat kedua: pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita yang memakainya) pada zatnya [12]

Maka pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang dan menyolok.

Meskipun demikian, sebagian dari para ulama menegaskan bahwa warna hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena lebih menutupi perhiasan dan kecantikan wanita.

Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Sungguh pakaian (berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhuma melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut disebutkan: “…maka Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang sedang tidur (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma lainnya, beliau menyebutkan bahwa para wanita Anshar Radhiyallahu anhuma keluar rumah (dengan jilbab hitam) seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak [13].

Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya:

1. Syubhat Pertama:
Hadits Ummu Khalid bintu Khalid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam shahih imam al-Bukhari [14], bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid Radhiyallahu anha dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju ini sanaah (bagus)”.

Jawaban atas syubhat ini:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para ulama salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.

Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [15] maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid Radhiyallahu anhuma yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil, bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid Radhiyallahu anha sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam.

Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang telah dewasa.

2. Syubhat Kedua:
Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari [16] dari ‘Atha’ bin Abi Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di ka’bah. ‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil (tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau Radhiyallahu anhuma kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”. 

Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.

Jawaban atas syubhat ini:
Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna hadits ini.

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [17] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah.

Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’ masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih kecil”. Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja.

Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah, karena alasan-alasan berikut:

- ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah.

- Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar, kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.

- ‘Atha’ melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu diperbolehkan.

- Ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana keterangan imam Ibnu Hajar di atas.

3. Syubhat Ketiga:
Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di Indonesia. Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf (kebiasaan) masyarakat.

Jawaban atas syubhat ini:
Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan) masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat [18]

Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain.

Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat.

Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan kekeliruan yang nyata.

Nasehat Dan Penutup
Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia. 

Allah Azza wa Jalla berfirman: 

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yuunus:58]
.
“Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “al-Qur'an” [19].

Dalam ayat lain Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [al-Munaafiqun:8]

Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa Jalla akan menjadikan kita hina dan rendah” [20]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah Jalaa Jalaaluh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 7 Sya’ban 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
_______
Footnote
[1]. Kitab “al-Kaba-ir” (hal. 134).
[2]. HSR al-Bukhari (no. 3069) dan Muslim (no. 2737).
[3]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 232).
[4]. Kitab “Ruuhul ma’aani” (18/146).
[5]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[6]. Liqa-aatil baabil maftuuh (46/17).
[7]. Kitab “Majmu’ul fataawa war rasa-il” (12/232).
[8]. Kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (3/34).
[9]. Majmuu’atul as-ilatin tahummul usratal muslimah (hal. 10). 
[10]. HR at-Tirmidzi (no. 2788) dan an-Nasa-i (no. 5118), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[11]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 121-123). 
[12]. Ibid (hal. 119). 
[13]. Kedua hadits di atas riwayat imam Muslim (no. 2770) dan (no. 2128).
[14]. No. 3661 dan no. 5485.
[15]. Dalam kitab “Fathul Baari: (10/280).
[16]. No. 1539.
[17]. Dalam kitab “Fathul Baari: (3/481).
[18]. Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel “Pedoman Penggunanaan ‘Urf” tulisan Ust Anas Burhanuddin, MA yang dimuat di majalah as-Sunnah edisi 09 thn XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[19]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/227).
[20]. Riwayat al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (1/130), dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.


Sumber : Disalin dari Artikel http://almanhaj.or.id 

Baca Selengkapnya ....
Jual Jilbab Syar'i, Gamis Akhwat dan Ikhwan dll support Jual Mainan Anak Playpad - Original design by Bamz | Copyright of Faidah Kajian Sunnah .